Oleh: sangprofesor | April 20, 2014

Sepenggal Prolog ‘Lapis-lapis Keberkahan’

lapis berkah2

Bahagia. Inilah kata paling menyihir dalam hidup manusia.

Tak satu jiwapun kecuali merinduinya. Tak satu akalpun kecuali mengharapinya. Tak satu ragapun kecuali mengejarnya. Tapi kebahagiaan adalah goda yang tega. Ia seakan bayang-bayang yang  kian difikir makin melipir, kian dicari makin lari, kian diburu makin tak tentu, kian ditangkap makin melesat, kian dihadang makin hilang.

Dalam nanar mata yang tak menemukan bahagia; insan lain tampak lebih cerah. Dalam denging telinga yang tak menangkap bahagia; insan lain terdengar lebih ceria. Dalam gerisik hati yang tak merasa bahagia; insan lain terkilau lebih bercahaya. Maka penderitaan manusia berlipat berkuadrat saat ia membandingkan diri dengan sosok di sekitarnya.

Ada kesadaran kecil disini, bahwa jika bahagia dijadikan tujuan, kita akan luput untuk menikmatinya di sepanjang perjalanan. Bahwa jika bahagia dijadikan cita, kita akan kehilangan ia sebagai rasa. Bahwa jika bahagia dijadikan tugas jiwa, kita akan melalaikan kewajiban sebagai hamba. Bahwa jika bahagia dijadikan tema utama kehidupan, kita bisa kehilangan ia setelah kematian.

Sebagai mukmin, kita lalu tahu, bahagia adalah kata yang tak cukup untuk mewakili segenap kebaikan. Di dunia, terlebih untuk akhirat. Oleh itulah, mari jeda sejenak dari membicarakan kebahagiaan.

Hidup kita seumpama bebuahan beraneka aroma, bentuk, warna, reraba, dan rasa, yang diiris-iris dan ditumpuk berlapis-lapis. Tiap irisan itu adalah karunia Allah, kemudianlah tumbuh dari benih yang kita tanam. Tiap irisan itu, punya wangi maupun anyirnya, teratur maupun acaknya, cerah maupun kelamnya, lembut maupun kasarnya, manis maupun pahitnya, masam maupun asinnya. Tapi kepastian dariNya dalam segala yang terindra itu adalah; semua mengandung gizi yang bermanfaat bagi ruh, akal, dan jasad kita.

Itulah berkah. Itulah lapis-lapis keberkahan.

Ia bukan nikmat atau musibahnya; melainkan syukur dan sabarnya. Ia bukan kaya atau miskinnya; melainkan shadaqah dan doanya. Ia bukan sakit atau sehatnya; melainkan dzikir dan tafakkurnya. Ia bukan sedikit atau banyaknya; melainkan ridha dan qana’ahnya. Ia bukan tinggi atau rendahnya; melainkan tazkiyah dan tawadhu’nya. Ia bukan kuat atau lemahnya; melainkan adab dan akhlaqnya. Ia bukan sempit atau lapangnya; melainkan zuhud dan wara’nya. Ia bukan sukar atau mudahnya; melainkan ‘amal dan jihadnya. Ia bukan berat atau ringannya; melainkan ikhlas dan tawakkalnya.

Maka di lapis-lapis keberkahan, kita akan belajar dari Muhammad, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; sosok yang paling berkah. Belajar tentang hidup yang paling benar, paling berisi, paling bermakna, paling baik, paling indah, dan paling bermanfaat. Mungkin bukan hidup yang paling bahagia, melainkan hidup yang paling berkah. Berkah dengan segala aroma, bentuk, warna, reraba, dan rasa.

Seperti di lapis-lapis keberkahan hidup seorang lelaki teladan yang namanya terpuji di langit dan bumi. Biarlah bahagia menjadi makmum bagi islam, iman, dan ihsan kita; membuntutinya hingga ke surga.

***

source: salimafillah.com


Tinggalkan komentar

Kategori